Photography Exhibition Sawahlunto Effect
Sebuah Pencerahan Menuju Kota Wisata
Oleh
Job Palar
JAKARTA - Sebuah tembok tua berdiri kokoh di salah satu bagian bangunan yang telah rongsok. Tembok itu ditancapi pecahan botol atau beling sehingga menjadi sosok ganas, dengan berbagai goretan masa silam.
Tembok ini memang diberi duri agar orang-orang rantai yang menghuni bangunan tidak berani mencoba untuk kabur,” demikian penjelasan Yori Antar, fotografer yang membidik tembok kokoh ini dengan tekstur duri-durinya.
Foto tembok berduri ini menjadi pembuka dari pameran foto ”Photography Exhibition Sawahlunto Effect”. Pameran foto ini menghadirkan empat fotografer, Oscar Motuloh, Arbain Rambey, Jay Subiakto, dan Yori Antar. Pameran yang digelar di Museum Nasional, Jakarta, dibuka oleh Dirjen Sejarah dan Purbakala, Departemen Pariwisata, Hari Untoro Drajat dan Wali Kota Sawahlunto Amran Nur, Jumat (29/2).
Foto karya Yori Antar cukup tepat untuk mewakili sekelumit perjalanan sebuah kota bernama Sawahlunto. Sawahlunto adalah sebuah kota pertambangan. Masyarakat yang dulu mengandalkan batu bara, sekarang berusaha bertahan hidup lewat agrobisnis.
Sejak akhir abad ke-19, Sawahlunto menjadi tempat eksplorasi batu bara. Emas hitam ini dikeruk habis-habisan oleh kolonial Belanda. Segala infrastruktur dibangun. Sawahlunto menjadi kota kecil dengan segala kesibukan yang melahirkan gulden-gulden yang dikirim ke negeri kolonial.
Kolonial Belanda tentu membutuhkan banyak tenaga kerja, maka diambillah para tahanan dari berbagai penjara di penjuru nusantara, dan yang terbanyak adalah orang Jawa. Para tahanan itu beraktivitas dengan kaki tetap dirantai. Maka lahirlah istilah orang rantai.
Eksplorasi itu saat ini sudah mencapai titik akhir. Lalu apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan kehidupan masyarakat Sawahlunto. Wali Kota Amran Nur pun menelurkan visi merevitalisasi Kota Sawahlunto menjadi Kota Wisata Tambang. “Saya terinspirasi oleh kota-kota wisata luar negeri, seperti Melaka di Malaysia,” kata Amran Nur.
“Kami harus menghidupkan kembali kota ini agar tidak menjadi kota mati. Nah, visi Wali Kota rasanya pas dengan keadaan di Sawahlunto,” kata Kepala Unit Peninggalan Bersejarah Kantor Pariwisata Sawahlunto Rika Cherish.
Ide mendatangkan fotografer profesional pun bergulir agar publik makin mengenal potensi kota wisata tambang di Sawahlunto. Pameran foto ini juga diharapkan bisa menggenjot jumlah wisatawan untuk melancong dan bertualang di Sawahlunto.
“Tahun 2007 ada 500.000 orang berkunjung, tahun 2008 diharapkan meningkat 50%,” kata Rika.
Para fotografer profesional ini menghadirkan Sawahlunto dari yang menjadi landmark kota sampai sudut-sudut yang tidak lazim. Semua mencerminkan sebuah kota yang memiliki banyak kisah sejarah.
Oscar Motuloh banyak bermain dengan tekstur dan kekuatan bayangan masa lalu. Dengan media foto hitam-putih, Oscar mencoba memperlihatkan masa lalu yang terbengkalai dari Sawahlunto, namun sangat mengundang untuk ditelusuri. Lori usang, bangku kosong di sebuah pekuburan tak terawat, wanita menenun di keremangan cahaya menjadi bidikannya.
Sementara itu, Arbain Rambey menangkap keceriaan anak-anak masa depan Sawahlunto di sebuah SD. Ada satu foto unik karya Arbain, seorang ibu duduk di rel kereta sambil menggendong anak, dan sebuah senapan angin digeletakkan di dekatnya. Pengunjung pasti bertanya-tanya apa yang akan ditembak oleh si ibu.
Pertanyaan ini bisa dijawab oleh Azri, seorang pengunjung pameran. Azri, warga Kota Padang, Sumatera Barat, sebenarnya ingin ke Monas, tapi ketika melihat baliho besar tentang pameran ini, dia menyempatkan diri mampir. “Saya lahir di sini,” katanya. “Itu senapan angin dibawa mungkin untuk berburu, karena di ujung terowongan itu ada hutan,” kata Azri.
Jay Subiakto menyajikan bidikan yang terasa lebih simbolik. Dia menghadirkan sisi-sisi kehidupan warga Sawahlunto. Satu foto yang menarik adalah sebuah rambu lalu lintas yang menggambarkan tanduk kerbau disilang merah, semacam dengan rambu larangan parkir di kota-kota besar.
Yori Antar menghadirkan bangunan-bangunan bersejarah di Sawahlunto. Arsitektur ala Indis masih banyak dijumpai. Salah satunya adalah Gedung Merah, Kantor PT Tambang Batu Bara Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin.
Hanya saja, Azri sang pengunjung sempat mencari-cari objek foto yang menurutnya “harus ada”. “Gedung tonil kok gak ada ya? Tempat permandian juga enggak ada, padahal letaknya di depan Soto Urang Awak,” katanya.
Jay Subiakto memotret dengan pencahayaan yang sangat pas papan nama Soto Urang Awak yang memang terkesan kuno. “Ini memang soto yang paling enak. Kalo ke Sawahlunto enggak makan di sini bisa disebut kurang lengkap,” kata Azri.
sumber : Harian Umum Sore SINAR HARAPAN
0 Komentar:
Post a Comment