Sunday, April 22, 2012

Foto from Syukri SSn
 
SEBUAH CATATAN DARI NGAMEN
BERSAMA MUSIK “KERONCONGAN” DI SAWAHLUNTO

Sedikit Mengenal Akar  Musik Keroncong
Ada baiknya bukan? Kalau Saya sedikit mengajak kita berpikir bagaimana musik Keroncong sampai ada di kota Sawahlunto yang notabebe ranah kesenian dan kebudayaan Minangkabau. Jawaban sederhana suka-suka dong, namanya kesenian bisa saja berada dan berkembang dimana saja. Pertanyaannya adalah bagaimana bisa ada dan berkembang diluar wilayahnya.
Seperti jamak diketahui dalam pengetahuan umum akar keroncong berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga bangsa itu sejak abad ke-16 ke Nusantara. Dari daratan India (Goa) masuklah musik ini pertama kali di Malaka dan kemudian dimainkan oleh para budak dari Maluku. Melemahnya pengaruh Portugis pada abad ke-17 di Nusantara tidak dengan serta-merta berarti hilang pula musik ini. Bentuk awal musik ini disebut moresco (sebuah tarian asal Spanyol, seperti polka agak lamban ritmenya), di mana salah satu lagu oleh Kusbini disusun kembali kini dikenal dengan nama Kr. Muritsku, yang diiringi oleh alat musik dawai. Musik keroncong yang berasal dari Tugu disebut keroncong Tugu. Dalam perkembangannya, masuk sejumlah unsur tradisional Nusantara, seperti penggunaan seruling serta beberapa komponen gamelan. Pada sekitar abad ke-19 bentuk musik campuran ini sudah populer di banyak tempat di Nusantara, bahkan hingga ke Semenanjung Malaya. Masa keemasan ini berlanjut hingga sekitar tahun 1960-an, dan kemudian meredup akibat masuknya gelombang musik populer (musik rock yang berkembang sejak 1950, dan berjayanya musik Beatle dan sejenisnya sejak tahun 1961 hingga sekarang). Meskipun demikian, musik keroncong masih tetap dimainkan dan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dan Malaysia hingga sekarang.[1]
Musik Keroncong  masuk ke Indonesia sekitar tahun 1512, yaitu pada waktu Ekspedisi Portugis pimpinan Alfonso de Albuquerque datang ke Malaka dan Maluku tahun 1512. Tentu saja para pelaut Portugis membawa lagu jenis Fado, yaitu lagu rakyat Portugis bernada Arab (tangga nada minor, karena orang Moor Arab pernah menjajah Portugis/Spanyol tahun 711 - 1492. Lagu jenis Fado masih ada di Amerika Latin (bekas jajahan Spanyol), seperti yang dinyanyikan Trio Los Panchos atau Los Paraguayos, atau juga lagu di Sumatera Barat (budaya Arab) seperti Ayam Den Lapeh.[2]

Musik Keroncong Di Sawahlunto
Bagaimana Musik khas Indonesia yang kental perkembangannya di tanah Jawa ini sampai dan hidup di Sawahlunto? Sebagai unsur kesenian yang universal, musik keroncong tentu dapat saja menyebar kemana-mana baik dibawa atau didatangkan  maupun ditularkan. Kapan tepat awal mula musik keroncong eksis di Sawahlunto? Sejauh ini belum dapat diketahui secara pasti. Karena memang belum tergali secara mendalam.
Namun yang jelas fakta sejarah menunjukkan tumbuh dan berkembangnya kota Sawahlunto dipicu dengan ditemukannya batubara yang di ekplorasi awal oleh de Groot 1858. Kemudian ekplorasi detail 1867-1868 oleh Ir. W.H de Greve.  Sejak itu berbagai upaya ekplorasi terus dilakukan hingga 1891 Belanda menghasilkan produksi pertama di tahun 1892. Beberapa tahun sebelum itu tenaga kerja dan buruh sudah didatangkan untuk membuka lahan dan membangun infrastruktur tambang Ombilin di Sawahlunto. Apa artinya ? sejak itu persinggungan, trans budaya sudah berlangsung.
Sebagai manusia yang berkebudayaan dan berperadapan dapat dipastikan pada setiap buruh dan pekerja tambang di Sawahlunto itu melekat dalam diri mereka akan berbagai unsur kebudayaan dari daerah asal termasuk dalam berkesenian. Beberpa fakta sejarah budaya Sawahlunto menunjukkan terdapat didaerah ini bagaimana budaya luar dihadirkan dalam bentuk atraksi seni budaya. Kuda kepang misalnya merupakan atraksi kesenian yang sudah lama eksis sejak perburuhan di era kolonial. Kuda kepang Sawahlunto hingga kini tetap eksis bahkan berkembang dan memberikan kontribusi besar dalam merekat hubungan sosial masyarakat Sawahlunto. Tidak seperti didaerah asalnya kuda kepang di syaratkan hanya dapat diperankan oleh suku asli Jawa beragama Islam. Lain kuda kepang di Sawahlunto, asal mau memerankan dari manapun, suku apapun dan agama apaun dapat berkontribusi. Begitupun ronggengan bahkan sengaja didatangkan oleh pihak perusahaan tambang Ombilin sejak era kolonial Belanda. Meski ronggeng dalam kontek kekinian sudah tidak dapat lagi dinikmati di Sawahlunto. Hal ini membentangkan kebudayaan dan kesenian  juga mengalami pasang surut di kota Sawahlunto.
Anggapan sementara saya, musik keroncong di Sawahlunto tidak terlepas dari mobilisasi tenaga buruh tambang Ombilin sejak era kolonial Belanda. Pada periode-periode berikutnya kebutuhan akan hiburan dan kesenian baik bagi kalangan pejabat tambang dan buruh tak dapat dihindari. Hal itu terbukti dengan didatangkannya hiburan berupa ronggeng oleh  pihak perusahaan  dari Jawa untuk menghibur di gedung societeit dan di barak-barak tambang yang dikenal dengan kata tansi di Sawahlunto.

NGAMEN: MEMBANGUNKAN MUSIK KERONCONG SAWAHLUNTO
KERONCONG SOEGAR begitu saya menyebutnya. Anda boleh menafsirkannya. Soegar ejaan lama bahasa Indonesia sepadan dengan kata sugar dalam bahasa Inggris yang berkonotasi Sugar alias manis. Menyebutnya dengan keroncong Segar tidak ada salahnya, setidak-tidak bagi pecinta dan penikmat musik keroncong di Sawahlunto. Karena musik ini cukup menyegarkan, menghibur dan mewarnai pernak-pernik kesenian di Sawahlunto. Saya juga ingin berargumentasi lain, kalau Belanda menunjuk Sawahlunto dengan sebutan Lembah Soegar (Soegar Kloof). Lembah Soegar menunjuk kepada wilayah Lembah Segar sekarang. Wilayah ini merupakan pusat kota. Dari Soegar ini dahulu Belanda menjadi pusat pengendalian administrasi dan kegiatan pertambangan. Pusat pemerintahan Hindia Belanda setingkat kota (gemeente) juga didirikan. Selain di pusat-pusat barak atau tansi-tansi buruh, berbagai atraksi seni budaya digelar disini. Terutama dalam perhelatan yang diusung perusahaan senantiasa dibarengi berbagai kesenian. Ada juga yang menafsirkan mengapa Belanda menyebut daerah yang terletak di lembah ini dengan sebutanSoegar. Soegar yang dimaksud adalah manis. Manis batubaranya kalau ditambang dan diperdagangkan untuk menghasilkan gulden. Memang diketahui di Lembah Segar pusat kota Sawahlunto mengandung batubara berkwalitas kalori sangat baik. Jadi tidak ada salahnya saya menyebutnya Keroncong Soegar bukan ? sepertinya Keroncong Tugu karena musik keroncong itu lahir dan berkembang di daerah Tugu. Anda pun boleh menyebut dan menamainya. Namun demikian apalah arti sebuah nama, tanpa aksi dan eksistensi yang nyata.
Lalu bagaimana eksistensi musik keroncong di Sawahlunto dalam kekinian? Yang jelas tetap ada. Hanya persoalan intensitas kehadirannya saja yang perlu menjadi perhatian. Sesekali waktu musik keroncong di Sawahlunto tetap muncul dalam moment-moment tertentu.
Seperti halnya pada malam minggu tanggal 4/02/2012 di terminal pasar Sawahlunto. Ada suasana lain, minimal sejauh yang saya ikuti selama berada dilokasi dari awal hingga akhir.  Entah ada kerinduan terhadap musik yang bertempo lambat ini atau karena segmen musiknya yang khas. Beberapa seniman Sawahlunto secara spontan memainkan musik keroncong di area terbuka dengan mengambil tempat di terminal dekat pasar Sawahlunto
Sederhana saja motivasi para seniman ini, berlatih dari ruang terbatas atau tertutup ke arena publik sekaligus memberikan hiburan dan penyegaran kepada para penikmat sajian hiburan juga demi tetap eksisnya musik keroncong di Sawahlunto. Ada harapan lebih besar adalah bagaimana musik keroncong menjadi bagian dari dunia hiburan dalam dunia kepariwisataan Sawahlunto. Dengan demikian bukankah musik keroncong di Sawahlunto tetap bisa hidup dan berkembang? Sekali merengkuh dayung dua, tiga musik keroncong membawa spirit berkesenian.
Setiap malam minggu memang telah menjadi program Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kota Sawahlunto untuk memberi ruang dan waktu bagi berbagai kesenian tradisional. Secara silih berganti, sebutlah saluang, rabab, salawat dulang menghibur wisatawan di pusat kuliner malam di terminal Pasar Sawahlunto. Dalam beberapa pergantian sajian beberapa kesenian itu, musik keroncong mengambil peran tepatnya malam minggu tanggal 4/02/2012. Ada catatan mengembirakan setidak-tidaknya bagi saya.
Tapi saya yakin juga kalau Anda berada pada saat waktu dan tempat yang sama. Penilaian kita tidak akan jauh berbeda. Coba anda bayangkan dari sekitar lima atau enam orang seniman mencoba mengekpresiskan kemampuan mereka dengan memainkan musik keroncong. Seiring waktu berjalan,  seniman yang punya perhatian dan kerinduan akan musik ini terus sajaberdatangan. Secara spontanitas pula saling berkontribusi mulai dari saling bergantian memainkan alat musik, hingga bernyanyi.
Situasi itu mengundang banyak perhatian, tidak seperti malam minggu sebelum-belumnya. Boleh dikatakan animo masyarakat, penikmat dan wisatawan biasa-biasa saja. Namun segmen keroncong malam itu seperti terjadi sebuah dialog dua arah. Secara spontanitas pula saling berkontribusi mulai dari saling bergantian memainkan alat musik, hingga bernyanyi. Saya pikir ini juga sebuah metode yang baik dalam merangsang peran serta berbagai pihak untuk hidup dan berkembangnya kesenian dan kebudayaan di Sawahlunto.
Peran itu tentu tidak melulu dipersamakan dengan kemampuan memainkan alat musik, bernyanyi khas keroncong dan lainnya. Menjadi motivator juga peran yang luar biasa. Seperti yang ditunjukkan oleh Ir. Amran Nur Walikota Sawahlunto. Surprise bagi yang hadir di arena musik keroncong malam itu, seorang walikota mau ikut nimbrung ditengah seniman yang sedang mengekpresikan diri. Menjadi penonton dan penikmat yang baik juga peran yang signifikan. Ikut meramaikanlah dalam bahasa sederhananya. Apalagi kalau ikut ‘saweran’ wah... itu sebuah apresiasi yang luar biasa. Karena patut di sadari bagaimanapun juga para seniman berkesenian perlu energi. Apalagi mereka dengan sadar mencoba mengekpresikan, mengakualisasikan diri dengan berkesenian yang menyuguhkan sesuatu kepada diluar diri mereka. Kali ini konsep yang dipilih dan dijalan sebentuk mengamen. Siapa lagi, kapan lagi kalau bukan kita dari sekarang.

Kokes-Sawahlunto, 14 Februari 2012



Kali ini kita akana bicarakan tentang malam Ir. W.H. de Greve di Durian Gadang, Silokek, Sinjunjuang. Foto ini (18 x 21 cm.) dibuat tahun 1872. Di nisan makam itu tertulis: “Hier rust de mijn ingenieur W.H. de Greve den 22″ October 1872 door een ongelukkig toeval alhier omgekomen R.I.P.” yang kurang lebih berarti: ‘Di sini beristirahat dengan tenang insinyur pertambangan W.H. de Greve yang pada 22 Oktober 1872 meninggal di tempat ini karena kecelakaan”.
Kisah hidup W.H. de Greve di Hindia Belanda berakhir cukup tragis, sebagaimana ditulis oleh Yonni Saputra, SS  yang antara lain menjadi sumber rujukan tulisan ini. Lahir di Frakener, Belanda, pada 15 April 1840, Willem Hendrik de Greve adalah seorang geolog yang pintar. Dalam usia masih 19 tahun, ia telah meraih gelar insinyur pertambangan dari Akademi Delft pada 1859. Kemudian ia segera pergi ke Hindia Belanda untuk mengadu peruntungan. Pada 14 Desember 1861 insinyur muda yang bersemangat itu ditunjuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk menangani berbagai penelitan tentang bahan tambang di Hindia Belanda. Selang dua minggu kemudian, pada 27 Desember 1861, De Greve menikah dengan ELT Baroness, putri W.R. Baron Hoevell. Pasangan itu kemudian beroleh tiga orang anak.
Sebagai peneliti pertambangan, De Greve, diutus oleh Pemerintah Kolonial Belanda kemana-mana, antara lain ke Seram dan Bangka. Sembilan tahun setelah penyelidikan yang dilakukan oleh seorang insinyur Belanda yang lain yang bernama C. de Groot van Embden, melalui surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 26 Mei 1867, De Greve diperintahkan pergi ke Ombilin untuk melakukan penyelidikan lebih rinci mengenai kandungan mineral di sana, yang sejak tahun 1858 sudah diteliti juga oleh seniornya, Ir. de Groot.
Di Ombilin De Greve melakukan penelitian intensif. Pada 1868 ia menyatakan bahwa kandungan ‘emas hitam’ di aliran Sungai Ombilin tak kurang dari 200 juta ton, yang tersebar di beberapa tempat, seperti Parambahan, Sigaloet, Lembah Soegar, Sungai Durian, Sawah Rasau, dan Tanah Hitam. Tahun 1870 De Greve melaporkan hasil penelitiannya itu ke Batavia dan pada 1871 ia, bersama W.A. Henny, mempublikasikan hasil penelitiannya yang judul Het Ombilien-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra’s Weskust (’s Gravenhage: Algemeene Landsdrukkerij).
Seperti terefleksi dalam judul laporannya itu, rupanya De Greve sudah memikirkan sistem transportasi (transportstelsel) apabila kandungan batubara Ombilin dieksploitasi nantinya. Dan hal itulah yang membuat hidupnya berakhir tragis. Pada 1872, demikian Yonni, De Greve melakukan ekspedisi lagi menghiliri Sungai Ombilin hingga ke Batang Kuantan. Selain masih menyelidiki kandungan dan sebaran batu bara Ombilin pada jalur Sijunjung, ekspedisi itu juga dimaksudkan untuk mengkaji kemungkinan membangun jalur transportasi alternatif untuk membawa batu bara Ombilin melalui Pantai Timur’ (Selat Malaka) jika sudah dieksploitasi nantinya.
Rombongan ekspedisi De Greve mencoba melintasi Batang Kuantan yang besar dan berarus deras itu. Di luar dugaan dan perhitungan, mengutip Yonni lagi, ketika memanfaatkan aliran Sungai Kuantan, perahu yang ditumpangi De Greve terbalik dan dia terseter arus desar Batang Kuantan. Ia tidak dapat menyelamatkan diri atau tidak pula ada orang yang bisa menyelamatkannya. De Greve tewas tenggelam. Peristiwa naas itu terjadi pada 22 Oktober 1872.
Mayat De Greve berhasil ditemukan dan kemudian dimakamkan di Nagari Durian Gadang, Silokek (sekarang masuk Kabupaten Sijunjung). Makam itulah yang terekam dalam foto ini. Untuk menghormati De Greve, pemerintah menamakan satu taman di Padang dengan namanya: Taman De Greve (letaknya kira-kira dekat Gedung Javasche Bank yang baru di Padang). Di sana dibangun sebuah monumen untuk mengenang insinyur berbakat yang mati muda itu. Salah satu dermaga kapal di tepian Batang Arau juga diberi nama De Grevekade (Dermaga De Greve).
Demikianlah kisah hidup Ir. W.H. de Greve yang cukup singkat itu (32 tahun). De Greve berkubur di Tanah Jajahan, jauh dari kampung halamanya, Frekener. Lepas dari niat dari setiap hati manusia yang hidup, langkah, rezeki, pertemuan, dan maut – seperti kata ahli hikmah – adalah rahasia Dia Yang Maha Kuasa.

Rumah Sakit Sawahlunti 1925

SAWAHLUNTO adalah salah satu kota terpenting di Sumatra pada zaman kolonial. Kota itu menjadi terkenal karena di sana ditemukan deposit batubara oleh insinyur Belanda De Greve pada pertengahan abad ke-19. Pada 1876 Pemerintah Kolonial Belanda mengekplorasi kandungan batubara itu yang kemudian terkenal dengan mama “Tambang Batubara Ombilin” (Ombilin Coal-Mines). Pada tahun 1892 dibangunlah kota yang menjadi cikal bakal kota Sawahlunto sekarang.

Banyak pekerja pribumi didatangkan ke Sawahlunto untuk dipekerjakan dalam lubang-lubang tambang di bawah tanah. Ingalah ‘Lubang Suro’ di lokasi tambang batubara Sawahlunto yang terkenal banyak memakan korban itu. Kebanyakan di antara pekerja tambang itu adalah para tahanan pribumi yang berasal dari berbagai etnis di Nusantara. Mereka inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan “urang rantai”. Tak terkecuali sebagian dari pemberontak komunis Silungkang (1927) juga di kirim ke tambang batubara di Swahlunto, sebagaimana direfleksikan oleh Bachtiar Djamily dalam novelnya Orang rantai dari Silungkang (Djakarta: Tekad, 1963). Sejarah perjalanan tambang batubara di Sawahlunto dapat dibaca dalam disertasi Erwiza Erman, Miners, managers and the state: a socio-political history of the Ombilin coal-mines, West Sumatra, 1892-1996 (Universiteit van Amsterdam, 1999).

Foto yang kami sajikan kali ini dibuat tahun 1925, dan terakhir tercatat sebagai milik F.F.W. Kehrer. Foto ini memperlihatkan rumah sakit tambang batubara di Sawah Lunto tempat para pegawai tambang yang sakit dirawat. Bangunannya yang terletak di atas bukit kelihatan cukup anggun dan bergaya Belanda. Di latar depan kelihatan para personel medis rumah sakit itu. Rupanya banyak pekerjanya juga direkrut dari kalangan pribumi. Tampaknya mereka sedang mengadakan gotong-royong merapikan tanaman di sekitar rumah sakit itu. Mungkin ada baiknya bangunan rumah sakit ini, yang konon masih ada dan masih dipakai sekarang, dipelihara untuk dijadikan sebagai aset wisata sejarah kota tambang Sawahlunto.

Monday, April 16, 2012

Foto : SumbarOnline .com


Wakil Walikota Sawahlunto, Erizal Ridwan, pada hari Minggu (15/4) membuka kejuaraan Binaraga dan Body Contest se Sumatera di GPK Kota Sawahlunto. Kejuaraan yang diikuti lebih dari 100 atlit binaraga dan body contest ini datang dari berbagai daerah dan propinsi di Sumatera kecuali Propinsi Bangka Belitung untuk memperebutkan hadiah total sebesar Rp.44 juta. Tampak juga atlit binaraga Nasional dari Jawa Barat, Kumara Indrayana, hadir dalam kegiatan Binaraga dan Body contest yang baru pertama kali dilakukan di kota tua sawahlunto ini.Sebagai tuan rumah, Kota Sawahlunto menurunkan atlit binaraga andalannya Iwan Samurai dan 6 orang peserta dalam body contest.

Kegiatan seperti ini sangat mendukung program pemerintah daerah Kota Sawahlunto yang gencar melakukan promosi dan terus berbenah agar dapat menjadi daerah tujuan wisata. "Salah satu cara mendatangkan orang dan memperkenalkan keunikan sawahlunto ini adalah dengan melakukan berbagai event dan kegiatan. Dan ini adalah salah satu cara yang kami pikir akan membantu program pemerintah." ucap Gannoffahlis di salah satu wawancara dengan media masa.

Wakil Walikota Erizal Ridwan, sangat mengapresiasi sekali kegiatan PABBSI ini, disebabkan bisa melaksanakan event se Sumatera. Karena dengan event ini katanya dapat mempromosikan Sawahlunto keluar daerah sebagai salah satu Kota wisata utama di Sumbar. Wawako juga berharap, kedepan berbagai event olahraga dapat dilaksanakan di Sawahlunto. “Kami bangga dengan PABBSI karena pada ajang Porprov XI lalu sebagai penyumbang medali terbanyak untuk Sawahlunto”, pujinya.

Dengan adanya kegiatan seperti ini, Homestay Sawahlunto masih menjadi pilihan alternativ ter-favorit bagi para peserta, official dan pengunjung yang datang dari berbagai daerah dan propinsi. Tak kurang dari sekitar 55 orang peserta dan official binaraga dan body contest memilih Homestay Sawahlunto sebagai tempat mereka ber-istirahat. Demi menjaga citra dan pelayanan para tamu yang berkunjung, Asosiasi Homestay Sawahlunto memberikan potongan harga bagi para peserta dan official event binaraga dan body contest ini. Tidak hanya itu saja, puding penunjang yang dibutuhkan oleh para peserta seperti ayam rebus dan telor ayam juga dipenuhi sesuai dengan keinginan tamu kehormatan kami.

Dengan adanya event kota seperti ini, Homestay sawahlunto selalu menjadi pilihan penginapan Alternatif terfavorit setelah Hotel Parai dan Juga Hotel Ombilin. Dengan harga yang cukup terjangkau (mulai Rp. 50.000/malam hingga Rp. 200.000/malam), Homestay Sawahlunto siap memberikan pelayanan terbaik untuk para tamu kehormatannya. Menginap di Homestay Sawahlunto,... Serasa sedang berlibur di rumah sendiri. Nikmati suasana yang hangat dan suasana kekeluargaan yang kami tawarkan... Come To sawahlunto, enjoy your vacation like being in your home..

Thursday, April 12, 2012

Kegiatan masyarakat dan perkantoran di Kota Sawahlunto tidak terpengaruh gempa. Beberapa pegawai kantor yang berasal dari Padang juga masih terlihat aktif bekerja, Kamis (11/4).  Kondisi aktivitas pertambangan yang ada di Kota itu juga tidak begitu terpengaruh.

Fadlan, kontributor padang-today.com, melaporkan gempa memang dirasakan sebagian warga Kota tambang itu. Kondisi itu juga mengejutkan masyarakat, namun karena guncangan hanya terasa sedikit, masyarakat kembali beraktifitas seperti biasa.

Hal yang sama juga terjadi pada lokasi pertambangan yang ada di Kota Sawahlunto. "Tidak ada kerusakan pada lobang-lobang tambang maupun bekas lobang tambang. Namun aktivas sempat terhenti sebentar ",  katanya melalui pesan singkat.

Hal yang sama juga disampaikan Humas Kota Sawahlunto, Andi Rastika. Dari pantauannya, hingga kini pegawai negeri tetap menjalan rutinitas pekerjaan dan tidak terpengaruh. "Walaupun mereka punya keluarga di Padang mereka tetap hadir di sini",  katanya. (*sumber)